Pemanfaatan teknologi informasi komunikasi di
lingkungan Kementerian Kesehatan sudah dimulai sejak decade delapan puluhan.
Pada masa itu Departemen Kesehatan RI melalui Pusat Data Kesehatan (PUSDAKES)
memanfaatkan teknologi informasi dengan sistem Electronic Data
Processing (EDP) namun hal ini baru diterapkan di tingkat pusat.
komitmen bersama antar pemimpin birokrasi bidang kesehatan untuk mendayagunakan
teknologi informasi dan komunikasi dalam pengambilan keputusan dan kebijakan,
baik di kabupaten/kota, provinsi, dan pusat, namun karena berbagai kendala dan
hambatan termasuk kurangnya dana dan tidak adanya payung hukum (PP) membuat SIK
kurang optimal dan belum berdayaguna.
Pada era sembilan puluhan Departemen Kesehatan
telah mengembangkan Sistem Informasi Puskesmas (SP2TP), Sistem Informasi Rumah
Sakit, Sistem Surveilans Penyakit bahkan Sistem Informasi Penelitian &
Pengembangan Kesehatan. Namun masing-masing sistem tersebut belum terintegrasi
dengan baik dan sempurna. Pada tahun 2002 Menteri Kesehatan mengeluarkan
Keputusan Menteri Kesehatan No.511 tentang “Kebijakan & Strategi Sistem
Informasi Kesehatan Nasional (SIKNAS)” dan Kepmenkes No.932 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pengembangan Sistem Informasi Daerah (SIKDA)”. Sistem Informasi
Kesehatan Daerah (SIKDA) di Kabupaten/kota adalah sebagai bagian sub sistem
SIKDA yang ada di provinsi, sedangkan SIKDA yang ada di provinsi adalah bagian
sub sistem Informasi Kesehatan Nasional (SIKNAS).
SIKDA seharusnya bertujuan mendukung SIKNAS,
namun dengan terjadinya desentralisasi sector kesehatan ternyata mempunyai
dampak negative. Terjadi kemunduran dalam pelaksanaan sistem informasi
kesehatan secara nasional, seperti menurunnya kelengkapan dan ketepatan waktu
penyampaian data SP2TP/SIMPUS, SP2RS dan profil kesehatan. Dengan
desentralisasi, pengembangan sistem informasi kesehatan daerah merupakan
tanggung jawab pemerintah daerah. Akibat keadaan tersebut, data yang dihasilkan
dari masing masing daerah tidak seragam, ada yang tidak lengkap dan ada data
variable yang sama dalam sistem informasi satu program kesehatan berada dengan
di sistem informasi program kesehatan lainnya. Maka validitas dan akurasi data
diragukan, apalagi jika verifikasi data tidak terlaksana.
Selain di daerah, di lingkungan Kementerian
Kesehatan pun belum tersusun satu sistem informasi yang standar sehingga
masing-masing program membangun sistem informasinya masing-masing dengan sumber
data dari kabupaten/kota/provinsi. Akibat keadaan di atas, data yang dihasilkan
dari masingmasing daerah tidak seragam, ada yang tidak lengkap dan ada data
variabel yang sama dalam sistem informasi satu program kesehatan berbeda dengan
di sistem informasi program kesehatan lainnya. Maka validitas dan akurasi data
diragukan, apalagi jika verifikasi data tidak terlaksana. Ditambah dengan
lambatnya pengiriman data, baik ke Dinas Kesehatan maupun ke Kementerian
Kesehatan, mengakibatkan informasi yang diterima sudah tidak up to date lagi
dan proses pengolahan dan analisis data terhambat. Pada akhirnya para pengambil
keputusan/ pemangku kepentingan mengambil keputusan dan kebijakan kesehatan
tidak berdasarkan data yang akurat.
Sistem kesehatan di Indonesia dapat
dikelompokkan dalam beberapa tingkat sebagai berikut:
1. Tingkat Kabupaten/Kota,
dimana terdapat puskesmas dan pelayanan kesehatan dasar lainnya, dinas
kesehatan kabupaten/kota, instalasi farmasi kabupaten/ kota, rumah sakit
kabupaten/kota, serta pelayanan kesehatan rujukan primer lainnya.
2. Tingkat Provinsi, dimana
terdapat dinas kesehatan provinsi, rumah sakit provinsi, dan pelayanan
kesehatan rujukan sekunder lainnya.
3. Tingkat Pusat, dimana
terdapat Departemen Kesehatan, Rumah Sakit Pusat, dan Pelayanan kesehatan
rujukan tersier lainnya.
Dalam proses pengelolaan data/informasi
kesehatan di Indonesia, standar-standar yang dibutuhkan, baik standar proses
pengelolaan informasi kesehatan maupun teknologi yang digunakan, belum memadai.
Akses dan sumber daya kesehatan juga tidak merata, lebih banyak dimiliki oleh
daerah-daerah tertentu, terutama di pulau Jawa. Akibatnya setiap institusi
kesehatan mulai dari puskesmas, rumah sakit, hingga ke dinas kesehatan
kabupaten/kota dan provinsi menerapkan sistem informasi menurut kebutuhan
masing-masing. Hal ini menjadikan sistem yang digunakan berbeda-beda dan sulit
untuk disatukan. Selain itu, kepemilikan dan keamanan data yang dipertukarkan
menjadi penghalang untuk menyediakan data yang bias diakses oleh pihak yang
membutuhkan.
Penyebab sulitnya mewujudkan pertukaran data
kesehatan di Indonesia yaitu:
1.
Penggunaan platform perangkat keras dan perangkat lunak yang
berbeda-beda di setiap daerah.
2.
Arsitektur dan bentuk penyimpanan data yang berbeda -beda
3.
Kultur kepemilikan data yang kuat dan possessive
4.
Kekhawatiran akan masalah keamanan data
Rencana Strategi Sistem Informasi Kesehatan Daerah :
Sumber : www.depkes.go.id
0 comments:
Post a Comment