Studi Kasus Sistem Informasi Kesehatan

on Thursday, May 16, 2013






Hasil Pembahasan Studi Kasus 1
                                                           “Marcus Low's Admission”




Dalam wacana rujukan Mr.Low, dapat kita ketahui Flow dari rujukan Mr.Low ke rumah sakit. Berikut proses awal dalam alur rujukan Mr. Low.

 
Tahap Pertama, Mr. Low telah berkonsultasi dengan Dr. Good untuk mengatur kapan jadwal yang tepat dengan memperhatikan ketersedian kamar/ruangan dan sebagainya. Pada tahap ini Dr. Good, sebagai Onkologinya bersama staf rumah sakit bertanggung jawab atas tahap ini.
Tahap Kedua, adalah tahap sebelum mendaftar atau masuk rumah sakit yang disebut Preadmission. Pada tahap ini Mr. Low harus mengumpulkan data demografi dan asuransinya yang dibutuhkan untuk melakukan klaim kepada Perusahan Asuransi Mr. Low. Selain itu pada tahap ini juga pihak rumah sakit menghubungi pihak asuransi Mr.Low untuk memastikan apakah biaya rujukan ini akan dicover oleh pihak asuransi. Tahap preadmission ini sudah mulai dilakukan rekam medic.
Tahap Ketiga adalah tahap registrasi atau pendaftaran. Pada saat Mr.Low datang ke rumah sakit maka akan dilakukan verifikasi informasi mengenai data demografi pasien dan asuransinya. Selanjutnya, petugas akan melakukan diberikan ID dan akan diantar ke kamarnya. Selanjutnya dilakukan pengobatan kepada pasien yang dibasis oleh sistem rekam medic elektronik.
Sistem Informasi yang sudah diterapkan di rumah sakit tempat Mr.Low dirawat sudah menerapkan sistem informasi secara electronic tidak lagi menggunakan sistem secara manual seperti yang masih banyak digunakan rumah sakit di Indonesia. Rumah sakit ini benar-benar menerapkan paperless untuk sistem rekam mediknya. Dimulai dari tahap awal, yakni pada tahap preadmission dan admission kita dapat melihat koordinasi pelayanan antar staf dan professional. Dimana bagian kantor Dr.Good menghubungi Departemen Administrasi Rumah Sakit untuk mengkonfirmasi dan menyusun jadalam Mr. Low. Alur berlanjut hingga tahap admission, dimana pihak rumah sakit melakukan identifikasi data pasien, menghubungi pihak asuransin pasien, melakukan koordinasi dengan staf kamar hingga pada akhirnya pasien masuk ke dalam ruang rawat inap. Tidak berhenti disana, proses pencatatan riwayat treatment pun berlangsung secara elektronik dimana setiap diagnosa, progress, tindakan yang meliputi nursing care, medical treatment dan pelayanan tambahan direkam dalam sistem rekam medis elektronik sehingga sangat fleksibel. Disamping itu dengan adanya sistem rekam medis elektronik ini, Dr.Good selaku dokter rawat dari Mr. Low dapat berkoordinasi secara tidak langsung dengan bagian staff keperawatan maupun dari pihak radiology. Setiap tindakan yang diperintahkan oleh Dr.Good akan direspon sesuai dengan apa yang diperintahkan Dr. Good dalam sistem rekam medis elektronik tersebut.
 Salah satu kegunaan dari rekam medis adalah sebagai dasar perhitungan biaya pembayaran pelayanan medis terhadap pasien. Dari kasus Mr. law diatas dapat diketahui bahwa jenis sistem pembayaran yang digunakan adalah KLAIM. Dimana distem pembayaran klaim adalah dengan sistem asuransi. Selain itu sistem billing diatas dapat dikategorikan sebagai Fully Intergrated Bill System.
Menurut Warsidianto, 2004, Fully Intergrated Bill System yaitu billing system yang terintegrasi dengan seluruh sistem rumah sakit (khususnya yang berkaitan dengan masalah keuangan). Pada billing system jenis ini semua proses yang menghasilkan charging ( berbiaya ) akan langsung tercatat di sistem, sehingga ketika pasien akan pulang, petugas billing tidak terlalu sibuk mengentry tindakan-tindakan / item-item yang di charge ke pasien dan dengan demikian waktu tunggu pasien akan semakin minim dan pelayanan bisa lebih memuaskan. Semua proses mulai dari pendaftaran, tindakan di poliklinik, penunjan, farmasi, dll akan langsung tercatat, bahkan back office (finance & akunting) akan memperoleh laporan dan data yang bisa dengan mudah dan cepat tersaji.
Setelah Mr. Low dinyatakan boleh pulang, maka Dr. Good harus menyusun atau merecord ringkasan kepulangan yang mencantumkan semua treatment yang diterima oleh Mr.Low. Setelah itu, Departemen Manajemen Informasi Kesehatan menetapkan kode untuk setiap diagnosis dan prosedur yang dilakukan. Kode-kode tinilah yang digunakan oleh Departemen Penagihan untuk mengajukan klaim asuransi kepada pihak asuransi Mr. Low.
Dibandingkan dengan sistem pelayanan kesehatan yang ada di Indonesia,  mayoritas masih menggunakan sistem manual dalam pencatatan Rekam Medis Pasien. Hal ini dapat dilihat pada Permenkes No. 269/MENKES/PER/III/2008 yang menggantikan Permenkes No. 749a/MENKES/PER/XII/1989, yang menyatakan bahwa “Rekam medis harus dibuat secara tertulis, lengkap dan jelas atau secara elektronik”. Pada ayat 2 pasal 2 dinyatakan bahwa “Penyelenggaraan rekam medis dengan menggunakan teknologi informasi elektronik diatur lebih lanjut dengan peraturan tersendiri”.
Hal yang menjadi masalah adalah hingga saat ini peraturan Rekam Medis Elektronik belum dirampungkan, sehingga dapat dimaklumi jika implementasinya belum merata bahkan hanya ada sedikit rumah sakit yang menggunakan sistem informasi, dan itupun sebagian besar berupa Semi Integrated Full System. Dalam Rapat Kerja Rekam Medik yang dilakukan pada bulan Maret 2011 oleh Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan, Kemenkes RI, dihasilkan beberapa rangkuman kerja yang salah satunya adalah pembuatan kebijakan atau adanya regulasi Rekam Medik Elektronik.
Menurut kami, apa yang harus dilakukan Indonesia adalah sama halnya dengan yang dilakukan oleh beberapa negara yang sukses dengan Electronic Medical Recordnya beberapa dekade lalu. Pemerintah harus merencanakan sistem, mempersiapkan sumber daya, menyediakan sarana prasarana, serta eksekusi kebijakan yang mengikat sehingga dapat terbentuk Sistem Rekam Medis Elektornik yang optimal. Ini juga menjadi sebuah tantangan berat untuk reformasi dunia kesehatan di Indonesia, disamping tuntutan Implementasi SJSN yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat ini. Jika sistem informasi kesehatan tidak berjalan dengan maksimal maka dapat dipastikan SJSN akan terhambat, karena sistem pembiayaan SJSN berupa sistem KLAIM, sama halnya dengan kasus di atas. Dengan jumlah pasien rujukan yang dapat dipastikan akan meningkat tajam (saat SJSN diterapkan), apabila sistem Informasi Kesehatan (dalam hal ini Sistem Rekam Medik Elektornik) tidak siap, maka akan sulit untuk memastikan sistem berjalan lancar.

Marcus Low's Admission
(http://id.scribd.com/doc/141955128/Marcus-Low-s-Admission)






Hasil Review Jurnal 2
“Challeges to Information System Implementation and Organisational Change Management: Insight from the Health Sector in Equador”
Angel Javier Salazar Alvarez


Ekuador merupakan Negara Amerika Latin yang menggunakan model organisasi vertikal dan perencanaan terpusat (Centralised Planning). Hal ini mengakibatkan Main cause dari distribusi pelayanan kesehatan menurun yang mengakibatkan kinerja pelayanan kesehatan pun memburuk. Pada kenyataannya, MoPH (Ministry of Public Health) telah menganggarkan dana sebesar 80% untuk pelayanan RS. Namun, produktivitas rumah sakit masih saja  rendah, kualitasnya rendah dan sistem kesehatan tidak efisien.
Strategi reformasi yaitu Program Pelayanan Primer Dasar (BPC), telah mulai diterapkan pada tahun 1992. Program BPC telah berhasil mengembangkan infrastruktur perawatan primer di daerah marjinal di perkotaan dan pedesaan yang terdiri dari 22 Puskesmas, 166 sub-pusat, 23 rumah sakit kabupaten dan 4.000 staf medis.
Program Pelayanan Kesehatan Dasar (BPC) yang dilaksanakan antara lain:
1.      Jaringan Darurat Perawatan RS Nasional (NECHN), yang meliputi:
a.       Rehabilitasi bangunan RS dan peralatan
b.      Implementasi SIM berbasis computer
c.       Pengembangan manajemen RS
2.      Proyek pengembangan institusi (IDP), yang bertujuan untuk membantu program desentralisasi, memperkuat perawatan primer, dan monitoring SI berbasis komputer.

BPC dinilai masih gagal untuk mendesentralisasikan secara penuh perencanaan dan pengelolaan kepada penyedia unit kesehatan setempat. Model Sistem Kesehatan Masyarakat Ekuador yang tradisional dilaksanakan sangat terpusat, di mana rencana dibuat oleh pemerintahan pusat dan pemerintah daerah hanya bertindak sebagai pelaksana.
Tindak lanjut dari penilaian BPC yang dianggap masih gagal tersebut yaitu penciptaan struktur organisasi baru yang dimaksudkan untuk membuat aturan alur informasi yang baru, berpusat disekitar serangkaian Otoritas Kesehatan Kabupaten(DHAs). Hal tersebut dibuat dengan tujuan agar  Kabupaten akan mengambil tanggung jawab utama untuk mengumpulkan informasi kesehatan,  keuangan dan informasi administrasi lainnya dari administrasi kesehatan primer  sub-pusat (tingkat kecamatan).
Berikut adalah alur informasi di MoPH:


Setelah mengkaji kasus tersebut lebih dalam, masalah yang dihadapi Negara Ekuador diantaranya adalah
*      Perubahan manajemen organisasi (kesehatan) yang menjadi desentralisasi
*      Organisasi kesehatan yang besar, seperti MOPH, memiliki beberapa jenjang lapisan organisasi
*      Model organisasi yang vertikal dan perecanaan masih terpusat
*      Akibatnya koordinasi antar kabupaten dan pusat menjadi terbelah
Saran kami terhadap adanya masalah yang dihadapi oleh Negara Ekuador tersebut adalah
·         Meminimalisir intervensi pribadi dari stakeholder dalam implementasi Sistem Informasi Kesehatan
·         Adanya struktur yang berjenjang dan terpusat, menghambat proses implementasi. Sehingga diperlukan promosi baik pada daerah maupun tingkat pusat yang berakibat pada reduksi retensi yang dapat meningkatkan koordinasi.
·         Change the Paternalistic Approach menjadi Participatory Approach


Challeges to Information System Implementation and Organisational Change Management: Insight from the Health Sector in Equador






Hasil Review Jurnal 3
“Rancang Bangun Sistem Informasi Pelayanan Kesehatan dengan Metodologi Berorientasi Obyek : Studi Kasus SMK Telkom Sandhy Putra Jakarta”
Analisis situasi proses pelayanan kesehatan pada SMK Telkom:
1.      Data kesehatan peserta (siswa dan pegawai) masih tertampung dalam bentuk file catatan, sehingga data dapat dengan mudah diakses oleh pihak yang tidak berkepentingan.
2.      Dalam pencarian riwayat kesehatan pasien, dibutuhkan waktu yang relatif lama
3.      Seluruh catatan yang dilakukan oleh petugas kesehatan dijadikan sebagai alat keluaran/laporan yang diberikan kepada pihak manajemen, bukan merupakan rekapitulasi, sehingga pihak manajemen sulit untuk membaca serta menganalisa guna dapat membantu pengambilan keputusan.
Dengan adanya masalah-masalah ynag dihadapi SMK Telkom maka dibangunlah sistem informasi pelayanan kesehatan dengan metodologi berorientasi obyek. komputerisasi banyak memberikan bantuan dalam usaha pemecahan masalah dalam hal usaha dan bisnis, diantaranya adalah mempercepat proses kerja dan juga menyediakan informasi yang cepat dan akurat bagi pihak yang membutuhkan khususnya manajemen.
Perancangan sistem dimodelkan dalam bentuk use case diagram, class diagram, serta rancangan layar. Use case diagram menggambarkan fungsionalitas yang diharapkan dari sebuah sistem yang ditekankan adalah “apa” yang diperbuat sistem, dan bukan “bagaimana” sistem melakukannya. Use case yang diusulkan dalam rangka perancangan sistem ini terdiri dari use case diagram manajemen data, use case diagram proses pelayanan kesehatan, dan use case diagram pelaporan kegiatan. Class diagram merupakan diagram yang menggambarkan struktur dan deskripsi class, package dan obyek beserta hubungan satu sama lain. Sedangkan rancangan layar merupakan tampilan antar muka (boundary) antara sistem dengan actor.
Dari hasil proses uji coba aplikasi yang dilakukan, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagi berikut:
·         Pemanfaatan teknologi informasi yang dipadukan dengan teknolgi komputer dapat membantu dalam menangani pelayanan kesehatan siswa maupun pegawai, dibandingkan apabila tidak digunakannya sistem informasi.
·         Kesulitan pembuatan laporan yang dihasilkan pada sistem sebelumnya terbukti sudah dapat teratasai dengan adanya sistem informasi yang diusulkan.
Saran yang kami berikan terhadap implementasi aplikasi sistem informasi pelayanan kesehatan yang diterapkan adalah:
·         Persiapkan sumber daya yang berkualitas guna mengoperassikan aplikasi tersebut.
·         Persiapkan sarana dan prasarana yang memadai.
·         Lakukan monitoring kebijakan secara regular.

    Rancang Bangun Sistem Informasi Pelayanan Kesehatan dengan Metodologi Berorientasi Obyek : Studi Kasus SMK Telkom Sandhy Putra Jakarta





Hasil Review Jurnal 4

 “Langkah-Langkah Strategis dan Taktis Pengembangan
E-Government untuk Pemda”
Zainal A. Hasibuan

Pesatnya perkembangan TIK akan membuka peluang dan tantangan untuk menciptakan (to create), mengakses (to access), mengolah (to process), dan memanfaatkan (to utilize) informasi secara tepat dan akurat. Untuk menjawab tantangan tersebut, Pemerintah Republik Indonesia telah berinisiatif membuat kebijakan untuk memanfaatkan TIK untuk membangun Electronic Government for Good Governance yang terintegrasi mulai dari tingkat pemerintahan daerah hingga ke pusat. Tujuannya adalah agar infrastruktur TIK yang akan dibangun dapat dimanfaatkan secara bersama untuk berkoordinasi oleh seluruh instansi, baik di pusat maupun di daerah.
E-Government pada dasarnya memberikan layanan informasi kepada sesama insitusi pemerintah (Government to Government – G2G), kepada dunis bisnis (Government to Business – G2B) dan kepada masyarakat (Government to Citizen – G2C), dengan tujuan sbb:
1.      Mampu memberikan informasi lengkap mengenai lembaga atau daerah untuk kemajuan ekonomi dan pembangunan daerah, dan peningkatan kinerja proses pelayanan (peningkatan efektivitas dan produktivitas).
2.      Mampu mengoptimalkan penggunaan sumberdaya (resources) seperti waktu, tenaga, budget, dan fasilitas lainnya (peningkatan efisiensi).
Kerangka pengembangan e-Gov di Indonesia dapat mengacu kepada Kerangka Sistem Informasi Nasional (Sisfonas) seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini.

Gambar. Kerangka Sisfonas Dan E-Government

Menurut Center for Democracy and Technology dan InfoDev, proses implementasi e-Government terbagi menjadi 3 (tiga) tahapan yang tidak tergantung antara yang satu dengan yang lainnya. Tahapan tersebut harus dilakukan secara berurutan dan masing-masing tahapan harus menjelaskan tujuan dari e-Government. Adapun ketiga tahapan tersebut antara lain, yaitu:
1. Publish, yaitu tahapan yang menggunakan teknologi informasi untuk meluaskan akses untuk informasi pemerintah, misalnya dengan cara pembuatan situs informasi di setiap lembaga, penyiapan sumber daya manusia, sosialisasi situs informasi baik untuk internal maupun untuk publik, serta penyiapan sarana akses yang mudah. Hal ini sepadan dengan teori Agarwal, yaitu tahapan tingkat 1 dari pengembangan e-Gov.
2. Interact, yaitu meluaskan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan, misalnya dengan cara pembuatan situs yang interaktif dengan publik, serta adanya antar muka yang terhubung dengan lembaga lain. Hal ini sepadan dengan tingkat 2 dan 3 dari perkembangan e-Gov.
3. Transact, yaitu menyediakan layanan pemerintah secara online, misalnya dengan cara pembuatan situs transaksi pelayanan publik, serta interoperabilitas aplikasi maupun data dengan lembaga lain. Hal ini sepadan dengan tingkat 4 dan 5 dari perkembangan e-Gov.
Agar ketiga tahapan tersebut bisa terlaksana dengan baik, maka harus ada jaminan komitmen yang tinggi dari pimpinan Pemda, dalam hal bisa gubernur, bupati, atau walikota. Disamping itu, pelaksanaan e-Government harus mempertimbangkan beberapa kondisi yaitu prioritas layanan elektronik yang diberikan, kondisi infrastruktur yang dimiliki, kondisi kegiatan layanan saat ini, dan kondisi anggaran dan sumber daya manusia yang dimiliki. Untuk itu, dalam pengembangan e-Gov, diusulkan suatu bentuk organisasi kegiatan pengembangan e-Gov seperti yang terlihat pada gambar berikut ini.
Gambar Struktur Manajemen Pengembangan E-Gov

Selain adanya usulan-usulan untuk kemajuan dan pengembangan e-Government di Indonesia, e-Government juga menghadapi berbagai macam kendala antara lain:

*      Masih rendahnya kesadaran (awareness) dalam mengambil keputusan telematika
*      Langkanya SDM yang berkualitas
*      Masih minimnya infrastruktur telekomunikasi  
*      Tarif internet yang masih mahalnya serta kurang memadai
*      Penetrasi PC yang masih rendah
Saran kami mengenai pengembangan E-Gov di lingkungan pemda yaitu
·         Perlu adanya komitmen dari pimpinan daerah untuk pengembangan e-Government yang berakar pada perubahan budaya kerja dari tradisional menjadi elektronik dengan memanfaatkan perangkat teknologi informasi.

Langkah-Langkah Strategis dan Taktis Pengembangan  E-Government untuk Pemda



0 comments:

Post a Comment